Saat ini kita hidup di era digital di mana setiap orang terhubung di media sosial. Bahkan di masa pandemi ini media sosial berperan besar dalam menjaga komunikasi.

 

Media sosial yang banyak digunakan oleh orang Indonesia diantaranya adalah YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, dan tentu TikTok. Masing-masing memiliki ciri khas sendiri dan menarik sehingga kita sangat menikmati berseluncur di media sosial, bahkan sampai lupa waktu.

 

Tak melulu untuk have fun, namun media sosial juga bisa digunakan untuk membangun branding, portofolio, bahkan menjadi sumber pendapatan. Nggak heran kalau makin banyak orang berlomba-lomba memiliki banyak followers atau subscriber. Kenapa? Karena makin banyak followers dan engagement maka cuan pun dapat mengalir deras.

 

Hari gini nggak punya media sosial merupakan hal yang langka. Tapi, ada satu teman yang saya kenal yang tidak memiliki media sosial populer sama sekali! Kok bisa ya?

 

Nah, kita langsung ngobrol bersama salah satu sahabat saya, yaitu Bibu Nanda.

Let's check this out...

 

Hai Bibu Nanda, apa sih yang melatar belakangi keputusan untuk tidak memiliki media sosial?

Sebelum kita jauh melangkah, aku ingin berbagi rangkuman sejarah media sosialku[1] agar pandanganku atas pertanyaan ini cukup cover both side.

Tahun 2005-2006: Aku bikin akun Friendster dan main MiRC. 

Tahun 2006-2007: Aku menulis di Multiply.

Tahun 2008: Aku bikin akun Facebook dan Blogger. 

Tahun 2009: Aku bikin akun Twitter. 

Tahun 2011: Aku hapus permanen akun Facebook dan bikin akun Whatsapp.

Tahun 2013: Aku bikin akun Instagram.

Tahun 2014: Aku hapus permanen akun Instagram dan Twitter.

Tahun 2015: Aku bikin akun Path.

Tahun 2018: Aku hapus permanen akun Path dan Blogger.

Tahun 2020: Aku bikin akun Quora dan menghapusnya 3 bulan kemudian.

Tahun 2021: Aku masih pakai Whatsapp.

Maka, sudah 16 tahun (dan masih berlangsung hingga sekarang) aku menjadi warganet!

 


Kembali kepertanyaan awal, apa alasan untuk tidak memiliki akun media sosial? Dalam hal ini aku mengapus akun media sosial karena aku tidak punya alasan lagi untuk memiliki akun media sosial tersebut (Facebook, Instagram, dan Twitter), tetapi aku masih pakai Whatsapp dan Gmail sebagai media berkomunikasi.

 

Pernah ngga ada godaan untuk membuat godaan media sosial dan bagaimana cara mengatasinya?

Pernah ada godaan untuk membuat akun media sosial terutama jika terkait persyaratan kegiatan tertentu yang mengharuskan mengikuti atau mengirimkan konten di akun media sosial populer, seperti Facebook dan Instagram. Contohnya kelas menulis yang aku ikuti mensyaratkan pesertanya aktif berinteraksi di kedua media sosial tersebut. Akhirnya aku mundur dari kelas menulis itu. Pernah juga tergoda karena merasa menjadi orang terakhir yang mengetahui berita terkini dan sering terlambat mengetahui kegiatan yang “aku banget” karena tidak punya akun Twitter.

Namun, godaan itu akan selalu berhadapan dengan pertanyaan:

“Apa tujuanmu membuat akun media sosial?”

“Apakah ada alternatif  lain?”

“Jika kamu punya media sosial, apa dampak positif dan negatifnya?”

“Apa kamu mampu menguasai dampak negatifnya?”

“Apa kamu yakin itu dampak positif, bukan egoisme atau impulsif?”

“Coba kamu pikirkan lagi, setuju?”

Konflik batin itu akhirnya bermuara pada URGENSI. Aku tidak mempunyai alasan yang mendesak (atau cukup memaksaku) untuk membuat akun media sosial (lagi). Masih ada alternatif mendapatkan informasi terkini, walau arusnya tak selaju media sosial populer.

 

Akan berbeda ketika aku memiliki tanggung jawab atau tuntutan yang mewajibkanku aktif bermedsos, seperti berjualan daring, pembuat konten, dan sebagainya. Untuk saat ini, media sosial bukan termasuk dalam prioritas jadwal harian dan daftar kebutuhan bertahanhidupku.

 

Aku pikir ketika kita memahami tujuan bermedsos, maka kita akan paham batasan dalam berinteraksi dengan warganet lainnya. Kita paham hal yang dalam kuasa kita dan hal mana yang di luar kuasa kita. Kita tahu dengan pasti apa saja yang patut kita bagikan (benar, baik, dan bermanfaat minimal buat diri kita sendiri) dan yang tidak sepantasnya dibagikan ke publik.

 

Kita lebih menghargai privasi. Dari situ akan muncul kesadaran dan sikap menghormati warganet lainnya. Pemahaman itu akan menyadarkan kita bahwa media sosial hanyalah dunia maya. Seseorang bisa menjadi siapapun dan berbuat apapun dalam dunia maya. Sehingga harapanku, kita bisa memilah dan memilih, waspada, serta bersikap asertif dalam memproses informasi yang membanjiri layar ponsel cerdas kita. Bukankah kematangan emosional, tingkat kecerdasan literasi baca, tulis, dan digital seseorang salah satunya bisa dinilai dari tingkah lakunya bermedsos?

 


Aku biasa saja tanpa media sosial karena aku hidup di dunia nyata, bukan dunia maya. Aku ingin orang mengenalku dari berinteraksi di dunia nyata, bukan dari kirimanku di dunia maya. Aku jadi punya waktu untuk mewawas diri, bukan membanding-bandingkan diri. Bahkan sebelum ada media sosial hidup kita juga baik-baik saja bukan? Justru dalam beberapa hal bisa jadi jauh lebih baik.

 

Bagi saya, Bibu Nanda adalah sosok yang tangguh dan ngga mudah mengikuti arus. Apa yang biasanya menjadi dasar dari setiap tindakan yang Bibu ambil?

Hal yang menjadi dasar dari setiap tindakan yang kuambil tentu saja prinsip dan pengalaman hidup. Sederhananya semakin dewasa semakin toleran. Semakin dewasa (mental) seseorang, semakin dia menghindari perselisihan, debat, apalagi dramatisasi, sebab orang dewasa pikirannya sudah fokus ke hal substansial. Tidak lagi membahas tetek bengek di luar kuasa mereka karena nirguna. Maka aku bertoleransi agar hidupku tenang. Sudah tua begini apalagi yang mau dicapai selain kedamaian batin?

 

Adakah perasaan insecure saat menjadi 'beda'?

Aku batasi definisi insecure di sini sebagai rendah diri dan “beda” di sini berkonotasi positif. Perasaan rendah diri saat menjadi “beda” tentu saja menistakan harga diriku sebab menjadi “beda” adalah keputusan yang kuambil dengan kesadaran penuh. Aku percaya diri dan bangga menjadi diriku sendiri karena itu caraku menghormati diriku. Jadi, aku tidak pernah merasa rendah diri saat menjadi “beda”.

 

Malah menjadi “beda” adalah kekuatanku. Itu indikasi bahwa aku mengenal diriku secarautuh. Aku paham kapabilitas dan kompetensiku, sehingga aku berani menjadi “beda”. Pilihan menjadi “beda” di tengah keseragaman memang sebuah tantangan. Namun, di situlah kerasionalan kita diuji.

 

Adakah tips atau saran yang bisa dibagikan pada remaja agar lebih yakin pada diri sendiri dan tidak takut menjadi 'beda'?

Ada. Agar remaja lebih yakin pada diri sendiri tentu yang harus dilakukan ialah mengenali diri sendiri secara utuh.

 


Jika kita sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kemudian kita bisa memetakan mana yang menjadi kekuatan utama kita dan mana yang harus kita sikapi dengan bijak. Dari situ akan terlihat jati diri kita.

Dengan mengenali jati diri itulah kita akan secara refleks menunjukan diri kita yang sesungguhnya dengan percaya diri dan bertanggungjawab.

 

Kita akan tahu waktu yang tepat untuk diam atau berbicara.

Kita akan tahu apakah sesuatu itu cukup diabaikan atau perlu direspon.

Kita akan mengetahui batasan-batasan dalam berinteraksi dengan orang lain.

Kita akan saling menghormati, toleran, dan bertenggang rasa.

Kita akan punya tujuan hidup konkret, cara meraihnya, dan cara menyelesaikan masalah yang berkenaan dengannya.

 

Manusia berkembang. Semua butuh proses. Proses butuh waktu. Take your time!

 

Puncak tertinggi dari sebuah kedewasaan ialah kemerdekaan.

 

Berani menjadi "beda" erat kaitannya dengan cara berpikir (takut salah, takut perundungan, takut jujur, takut dijauhi, takut tidak sesuai standar, takut dianggap tidak normal, dsb yang mengakibatkan overthinking dan rendah diri) dan budaya menghakimi orang lain yang berbeda pilihan hidup.

 

Beri batasan tegas kepada orang lain untuk tidak memasuki wilayah pribadimu. Pun sebaliknya. Saling menjaga batas pribadi agar saling menghormati pilihan hidup.

 

Jadi yang wajib diubah pada dasarnya ialah cara berpikir. Budaya merupakan hasil dari cara berpikir manusia. Ubah cara berpikir, maka budaya akan ikut berubah.

 

Pikiranmu menentukan hidupmu!

Hidupmu, kamu yang menentukan!

 

Hidup memang tidak sepenuhnya berjalan sesuai rencana, setidaknya rencanakan hidupmu sepenuhnya.

 

Ah, ngobrol dengan Bibu Nanda memang selalu insighfull. Ngga pernah bosen saya menggali ilmu dari beliau. Semoga artikel ini juga dapat memberikan insight baru untuk teman-teman ya...


Bibu Nanda pernah berkontribusi sebagai narasumber dalam artikel sapamama Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Membaca Nyaring di Media Sosial - Aspek Hukum Read Aloud.

 


Salam Hangat,

sapamama

 



[1]Pernahkubagikan di jawabanataspertanyaan “Bagaimanapengalamanmusetelahmelakukandetoks media sosial?” yang ditujukankepadaku di Quora (5 Desember 2020).

23 Komentar

  1. Luaaar biasa Bibu Nanda ini. Hidupnya produktif sekali pasti ya di dunia nyata. Annnnnd.. tentu saja, pasti hapenya tidak cepat penuh memorinya karena update pembaruan aplikasi sosmed. Hahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insya Allah demikian mam, beliau produktif sebagai penulis dan membersamai putra di rumah. Terima kasih sudah berkenan mampir ya.

      Hapus
  2. Insight-nya keren banget ini mah.
    Ada artis yg ga punya socmed juga, Reza Rahadian ntuh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya malah baru yahu mba. Pesohor yg saya tahu tanpa medsos pak Nadiem

      Hapus
  3. Ah ini ingetin aku dgn salah seorang blogger yg juga ga pake medsos, tp dia aktif di blog nya. Cm skr blognya pun sdg di off kan dulu.

    Salut sih sbnrnya dengan orang2 yg bisa tahan ga bermedsos. Krn jujur aku ga bisa. Tp mungkin LBH Krn aku butuh medsos utk bbrp hal, JD mau ga mau ya hrs pake. Tp aku pilih kok, medsos apa yg emang sesuai. Kalo ga cocok, aku uninstall, kyk Twitter. Ga ngerasa butuh kalo itu :p.

    Tapi memang balik ke diri kita ya mba. Jgn sampe medsos malah membuat kita lupa dgn hal lain yg LBH penting dan nyata.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mam. Bahkan, saat ini medsos bisa jadi ladang penghasilan kan. Jadi memang tergantung bagaimana kita menyikapinya ya.

      Hapus
  4. Privasi! Aku juga suka dengan kata kunci ini. Ketika kehidupan pribadi terlalu dibuka, maka akan sulit menemukan kenyamanan. Setiap orang punya batasannya sendiri. Usahakan jangan sampai kebabalasan membagikannya di media sosial. Inspiratif Bibu Nanda!

    BalasHapus
  5. Medsos sekarang sudah mampu menyihir sebagian besar orang ya kak..seolah2 dunia nyata dan maya tiada batas lagi tapi memang sih semua tergantung pribadinya masing-masing hehehe

    BalasHapus
  6. So far aku masih pakai medsos sih, buat kerja aja wkwk. Tapi buat mengurangi dampaknya, aku nggak install aplikasi medsos di HP, jadi kalau butuh ya buka di laptop atau via browser yang tentunya lebih ribet. Cuma IG aja yang masih ada appnya, karena kalau mau posting2 ga bisa via laptop.

    Hebat euy bisa hidup tanpa medsos... salut!

    BalasHapus
  7. Empat jempol buat beliau (Bibu Nanda). Hari gini perpuasa medsos. Sungguh luar biasa. Gaya hidup begini yang perlu ditiru.

    BalasHapus
  8. Hebat. Saya juga gak terlalu aktif di media sosial sebetulnya, saya gak suka merasa punya kewajiban buat ngecek akun medsos satu-satu, padahal gak ada yang mewajibkan, cuma sekedar scrolling doang. Cuma blog aja yang mau saya urusin 🤗

    BalasHapus
  9. Wiwin | pratiwanggini.net29 April 2021 pukul 14.13

    Saya kalo bukan karena pekerjaan mungkin juga ga bermedsos ria, palingan juga sebatas WA dan email. Jadi, ya kembali kepada tujuan dan kebutuhan sih kalo menurut saya.

    BalasHapus
  10. Wow luar biasa ya, 2021 tanpa medsos. Memang harus pandai2 mengambil sisi positif dan membuang efek negatif dari sosmed..

    BalasHapus
  11. Saya juga punya teman yang enggak punya dan enggak mau bikin sosial media. Saya tuh selalu kagum sama orang yang bisa beda kayak gini. Kalau teman saya alasannya supaya hidupnya lebih fokus dan enggak terdistrak sama media sosial. Kalau saya mah justru sebaliknya kayaknya, media sosial jadi sarana untuk buka peluang,hehe.

    BalasHapus
  12. Medsos buat perempuan bisa mengguncang bgt karena bisa bikin insekyur. Tapi aku suka sama yg ga punya medsos sih, ga bisa distalker haha

    BalasHapus
  13. Masya Allah keren ya Mbak. Kalau daku jujur masih bermedsos yang kupahami aja, kayak twitter baru 2019 pakai, soalnya nggak paham lalu aku belajar otodidak aja. Jadi selain buat kerjaan buat posting update menulis.

    BalasHapus
  14. Keren.. saya punya Twitter sudah 10 tahun dan baru dibuka kembali 2 bulan lalu. Dulu hanya sekadar punya aja. Nggak pernah dipakai.

    Sekarang dibuka karena pekerjaan jurnalis di portal PR. Wuih.. serem2 warganet di Twitter komentarnya

    BalasHapus
  15. keren mbak, beda itu biasa ya
    aku suka quotenya
    : pikiranmu menentukan hidupmu
    hidupmu, kamu yang menentukan

    BalasHapus
  16. Aku juga sepmapt bikin froendster & main mIRC tahun 2000 tuh hihihi jadi nostalgia baca postingan ini. Pilihannya untuk gak punya medsos lagi harus dihargai ya karena tiap orang punya alasannya apalagi pingin ada privaci.

    BalasHapus
  17. Pernah banget merasa insecure ketika ada medsos.
    Rasanya kaya ada tuntutan untuk apdet biar ER bagus.
    Gak ada salahnya memang...semua kembali ke tujuan masing-masing itu tadi yaa...
    Haturnuhun kak rangkumannya bersama Bibu Nanda.

    BalasHapus
  18. Keren ya Bibu Nanda, karena hidup adalah tentang pilihan dan kenyamanan. Temenku ada juga yang ga punya mendsos. Setelah kutanya mengapa jawabannya karena dia suka dikepoin orang lain dan itu membuat dia tidak nyamana. Hehe...

    BalasHapus
  19. Saya pribadi paling lama tanpa medsos itu 2 minggu, pas hp rusak. Selain itu, belum pernah lebih lama lagi. Kecuali saat sebelum kenal medsos yaa. Hehehe

    BalasHapus
  20. Ada masa dimana aku juga pernah berpikiran sama, menutup semua media sosialku. Namun kuurungkan, dan memilih untuk rehat sejenak saja. Bibu Nanda keren dengan prinsip dan pemikirannya ��

    BalasHapus