Habit of Obedience, Memahami Otoritas Orangtua Terhadap Anak
Pernah diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak suka?
Pernah meminta anak melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan namun wajib dilakukan?
Baik saat menjadi anak atau setelah menjadi orangtua kita pasti pernah merasakannya. Misalnya saja saat kita harus beribadah, kadang kita terlau malas untuk beribadah di awal waktu karena asyik melakukan hal lain. Suka atau tidak suka kita harus menyegerakan ibadah karena itu adalah bentuk kewajiban kita sebagai hamba-Nya.
Ada lagi contoh terkait aturan tentang gawai yang telah ditetapkan, bahwa anak hanya boleh memegang gawai di akhir pekan dengan durasi 2 jam setelah ia melakukan tugas-tugasnya. Jika waktu bermain gawai sudah habis, maka mau tidak mau ia harus menyerahkan gawainya.
Dalam hidupnya anak tidak hanya akan menemukan hal-hal yang ia sukai saja. Maka ia harus belajar untuk mengambil keputusan-keputusan yang mungkin saja terasa tidak enak, namun ada nilai kebaikan di dalamnya. Misalnya saat kelak ia bekerja, ada beberapa rekan kerja yang bekerjasama untuk melakukan rekayasa atau mark up biaya perencanaan. Alih-alih mengikuti arus, ia memilih untuk mutasi kerja. Walau mungkin ada konsekuensi seperti gaji turun dan sebagainya, namun tak ada yang lebih baik dari menjadi pribadi yang jujur dan tidak merugikan orang lain.
SIAPA PEMILIK OTORITAS DALAM KELUARGA, KITA ATAU ANAK?
Saat mengajarkan anak tentang praktik baik, tak sedikit kita berkonflik dengan anak. Bagi saya sendiri berkonflik di awal, yaitu saat anak masih berusia dini lebih baik dibanding harus berkonflik saat anak memasuki usia remaja. Jadi sebisa mungkin mengajarkan anak nilai-nilai yang bermanfaat dalam hidupnya sejak dini walau mungkin masih belum sempurna.
Mengajarkan anak tentang praktik baik sejak usianya yang masih kecil merupakan bentuk tanggung jawab kita sebagai orangtua, karena anak adalah titipan Tuhan dan masyarakat yang harus kita besarkan menjadi sosok yang taat terhadap petunjuk Ilahi, aturan masyarakat, dan menjunjung kebenaran.
Membuat anak menjadi sosok yang taat adalah tugas kita. Kita tidak akan pernah dalam kondisi yang setara dengan anak kita. Sebagai orangtua, orang yang lebih tua dari segi usia, pengalaman, dan tentu sebagai sosok yang dipercaya oleh Tuhan untuk membesarkan seorang anak manusia, kita memiliki otoritas lebih. Jadi sah-sah saja jika kita meminta anak untuk melakukan atau mematuhi sesuatu selama hal itu menuju pada kebaikan.
Apalagi jika anak kita belum dewasa, ia masih belum memiliki kekuatan kehendak. Ia belum tahu membedakan mana yang baik dan benar, yang ia tahu hanyalah apa yang ia suka dan tidak ia suka. Padahal yang Ia suka belum tentu membawa kebaikan, begitu juga yang tak ia suka, justru bisa jadi membawa kebaikan bagi hidupnya.
ANAK KITA BUKAN PUSAT ALAM SEMESTA
Bukan anak kita yang mengatur keluarga apalagi masyarakat dan alam semesta. Ada kekuatan yang lebih besar, yaitu kekuatan Tuhan semesta alam. Kita merupakan perwakilan dari hukum, kebenaran, dan perintah Tuhan, sehingga kitalah pemilik otoritas. Saat menyadari otoritas itu, maka kita harus menyadari bahwa kita punya tanggung jawab moral untuk mendidik anak kita menjadi sosok yang taat pada aturan hukum dan aturan Tuhan. Di saat itu juga kita menyadari bahwa sebagai orangtua kita berhak untuk membiarkan anak kita untuk tidak taat. KARENA ANAK ADALAH TITIPAN, ANAK ADALAH PRIBADI UTUH DAN BUKAN BUKAN MILIK KITA.
Saat kita mengajarkan anak kita untuk taat, maka kita juga harus menjadi contoh ketaatan. Dengan melihat kita sebgai sosok yang taat, maka anak kita pun akan dapat mengikuti ketaatan kita. Jika anak tumbuh menjadi sosok yang tidak taat, maka ada andil kita yang membentuk perilaku itu. Pada dasarnya melatih ketaatan tidak sulit karena sejak awal anak sudah siap taat. Dalam diriya sudah ada ketaatan, hanya menunggu untuk diaktifkan.
Pernahkah menggunakan kekerasan untuk membuat anak taat? Jika itu terjadi, maka itu artinya kita tidak percaya pada kemampuan anak kita untuk taat.
Seringkali ada ketidakpercayaan tak hanya pada anak, namun juga pada diri sendiri. Merasa tidak layak menjadi otoritas dan bersikap kendor. Jika hal itu terjadi, kita harus bisa merubah pandangan tersebut menjadi sudut pandang yang lebih positif, diantaranya:
1. Pandangan tentang anak
Anak terlahir dengan kesiapan untuk taat”, sehingga dengan pendekatan dan latihan yang tepat ia akan memiliki ketaatan tanpa kata nanti.
2. Pandangan tentang diri sendiri
Sebagai orangtua kita harus menyadari peran kita sebagai perwakilan Tuhan dan masyarakat sehingga kita harus menegakkan aturan kita dengan percaya diri.
3. Pandangan tentang peran
Melatih anak untuk taat adalah tugas sakral orangtua. Ini adalah prioritas kita dan membutuhkan investasi waktu dan energi.
Kita semua sedang berjuang. Kita semua punya kekhawatiran. Mari bersama-sama belajar dan saling mengingatkan.
Salam Hangat,
sapamama
0 Komentar