Pada suatu komunitas daring saya bertemu dengan mama Marissa yang berdomisili di Jakarta Utara. Tak disangka ternyata beliau adalah teman saudara sepupu saya. Dunia memang sempit ya, hehehe… Walau saya sudah undur diri dari komunitas tersebut, namun saya masih berhubungan dengan beliau. Ternyata Mahmud satu ini memiliki visi dan misi untuk memberikan edukasi seputar kesehatan mental (mental health) bagi wanita Indonesia. Wah…luar biasa sekali ya moms.

Untuk mendukung tujuan ini mama Marissa menginisiasi lahirnya Kalong Kitty yang aktif di sosial media, yaitu whatsapp group (WAG) dan instagram. Sejak 11 Oktober 2019 Geng Kalong, sebutan akrab Kalong Kitty, secara konsisten menyentuh isu kesehatan mental dalam tiap aktivitas daringnya. Sesekali mereka mengadakan meet up, misalnya pada hari Minggu, 1 Desember 2019 di Mall Bassura yang menjadi momen pertemuan perdana Geng Kalong.

Jika mommies tertarik untuk bergabung dengan Geng Kalong, silahkan mengirimkan direct message (DM) di akun instagram @kalong_kitty ya…

18 Februari 2020 yang lalu saya berkesempatan untuk belajar di Bat Land yang saat itu mengadakan wapshare dengan tema Speak Up to STOP #KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Ada 2 narasumber yang hadir dalam sesi tersebut. Yang pertama adalah mbak Maria Rayna Kartika Winata, S.Psi., M.Psi. yang merupakan Psikolog anak & remaja, konselor keluarga, konsultan sekolah, dan praktisi pendidikan. Lalu ada ibu Nurhilmiyah (Mia) yang merupakan dosen di LLDikti dpk FH UMSU, Medan. Beliau pernah menjadi anggota P2TP2A Kab. Asahan dan hingga saat ini masih menjadi anggota PSGA (Pusat Studi Gender & Anak) UMSU.

Sebelum menginjak ke pokok bahasan utama, kita belajar tentang materinya dulu ya... Berikut ini adalah materi dari mbak Maria Rayna Kartika Winata, S.Psi., M.Psi.tentang KDRT.






Wapshare ini diawali dengan sharing dari salah satu korban KDRT yang berani untuk speak up, yaitu mbak R, ibu satu anak. Berikut ini adalah pengalaman yang dapat beliau bagikan.

R: Assalamualaikum, selamat sore teman-teman semua, saya R. Di sini saya mau bercerita sedikit tentang KDRT yang saya alami.

Tahun 2016 saya menikah, awal mula pernikahan baik-baik saja, sampai ditahun ke-2 pernikahan saya hamil anak pertama, dari situ awal KDRT dimulai. Awalnya, dia tidak mengizinkan saya untuk bergaul dengan teman-teman saya atau bertemu dengan keluarga. Saya masih berpikir positif. Mungkin karena rumah saya jauh dan saya sedang hamil. Tap;I semakin lama makin terlihat sifat aslinya. Saya hanya  boleh bertemu dengan keluarga sekitar 2-3 jam. Jika pulang terlambat ke rumah dia bisa mengeuarkan kata kasar melalui WA & mengancam saya.  Kata bego, tolol, atau binatang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.

Setelah melahirkan dia mulai berani memukul saya, mulai dari melempar barang, dipukul barang, jambak, tampar, tending sudah pernah saya alami, bahkan diperlakukan tidak enak ketika hamil besar pun dia berani, sama sekali tidak ada rasa kasian pada saya saat hamil besar. Kesalahan sekecil apapun dia tidak sungkan berkata kasar. Memang sih selalu minta maaf, tapi terus berulang dengn janji tidak akan kasar, tapi yaa begitu terus. Sampai saat ini pun sikap dan kata kasar masih sering dilakukannya.

Saya hanya bisa berdoa agar dia berubah untk tidak kasar pada saya dan anak saya. Sempat ingin pisah, tapi cba sabar dan banyak doa, Alhamdulillah sudah berkurang untuk main tangannya.
Dulu aku simpan semuanya sendiri. Tidak berani speak up dengn banyka orang seperti ini. Yang tahu hanya 2 sahabat dekat saya.

Sejak bergabung dengan genk kalong saya merasa punya wadah untuk mencurahkan rasa sedih dan marah saya. Di genk kalong pun prtama kalinya saya bisa berkomunikasi langsung dengan psikolog yang kompeten. Sebelumnya tak pernah terpikirkan jauh ke sana.

Tanggapan Ibu Mia:
Mbak R yang baik, terima kasih telah mau berbagi soal ini. Masih banyak saudari-saudari kita di luar sana memilih bungkam namun Mbak R telah memiliki keberanian. Suatu langkah yang bagus, Mbak.
Dari cerita Mbak R ada 5 perlakuan yang saya dapatkan:
1. Tidak mengizinkan bergaul dengan teman
2. Tidak mengizinkan bertemu keluarga
3. Mengancam dengan kata-kata, baik langsung maupun via Whatsapp
4. Setiap hari mencaci maki dengan kata-kata tidak pantas
5. Memukul, melempar barang, menjambak, menampar, menendang (dalam kondisi sedang hamil besar).

Dalam UU PKDRT (UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga) yg srg familiar disebut UU KDRT  dikenal 2 macam kekerasan:
1. Kekerasan fisik
2. Kekerasan psikis

Dalam kasus ini pelaku adalah suami Mbak R sendiri ya. Masih berlangsung terus atau sudah tidak lagi atau bakal ada kemungkinan berulang?
Sebaiknya mulai saat ini, Mbak R punya buku catatan semacam jurnal berisi perlakuan yang diterima, waktu-waktunya, foto-foto luka lebam dan sebagainya untuk dijadikan alat bukti kalau suatu saat akan mengadukan.

R: Masih berlangsung kok bu, tapi tidak separah kemarin-kemarin. Karena saya pun baru beberapa bulan terakhir berani bercerita dengan mertua. Setelah itu better lah… Walau masih sering di katai tapi tidak separah kemarin=kemarin. Waktu itu pernah saya foto, tapi fotonya hilang, sepertinya dihapus.
Tanggapan Ibu Mia:
Selama ini pernah mengadukan pelaku nggak, Mbak?
R: Belum pernah, karena saya takut. Takut dia lebih nekat dari saya.

Tanggapan Rayna (Psi):
Dear mbak R,
Saya salut dengan kesabaran & ketegaran mbak R untuk bertahan demi keutuhan keluarga.
Boleh tahu berapa lama mengenal suami sebelum memutuskan untuk menikah?
Suami di keluarganya seperti apa mbak? Orang tuanya bagaimana?

R: Kurang lebih 1 tahun mba. Ya memang sosok yang keras. Saya baru tahu dia kasar dari keluarganya setelah menikah, dan saya tahu mertua saya kasar dengan istrinya pun setelah menikah sebelumnya keluarganya tidak ada cerita apa-apa, terlihat baik-baik saja.
Saya saja takut cerita seperti ini karna handphone saya dikloning dengn handphone suami.

Tanggapan Rayna (Psi): Sebenarnya ini juga bentuk kekerasan psikis mbak. Keinginan berlebihan utk membatasi & menguasai. Apa pernah ditanyakan, utk apa harus dikloning mba?
R: Katanya biar sy ga macem2 dan banyak gaya

Tanggapan Ibu Mia:
Untuk mengantisipasi suatu saat menerima kekerasan baik fisik maupun psikis, Mbak R sebaiknya terhubung dengan Relawan Pendamping di P2TP2A (Pos Pelayanan Terpadu Pemberdayaan dan Perlindugan Perempuan) terdekat. Idelanya di tiap kelurahan ada, kl gak ada, cb ke kecamatan, kl belum tersedia juga, di tingkat kabupaten/kota pasti ada. Biasanya berada di bawah koordinasi kantor BKKBN/Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Perempuan dan Anak.

Saya dulu pernah mendampingi kasus seperti yang Mbak R alami ini. Memang akhirnya dia tidak mau kembali lagi pada suaminya. Suami diproses di Polsek, perceraian pun tak dapat dielakkan, namun demi keberlangsungan hidupnya dan anak-anak, jalan itu terpaksa ditempuh. Pada kasus lain meski suami sempat dipidana, setelah keluar dari penjara, benar-benar taubat tidak melakukan KDRT lagi dan akhirnya bisa melanjutkan hidup kembali bersama-sama.

Kalau tidak ketemu kontak dengan P2TP2A setempat, langsung ke polsek saja Mbak, datang ke ruang PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak). Di sana biasanya ada polwan yang enak dicurhati dan langsung bisa mengambil langkah hukum terhadap suaminya.

Mba Rayna (Psi):
Dalam etika profesi saya, kami tidak diperkenankan memberi saran untuk bercerai. Berikut ini sebagai pertimbangan ya mbak:
1. Konsekuensi mempertahankan rumah tangga:
- Senantiasa bersabar menerima temperamen suami. Melakukan afirmasi diri forgiveness "Bismillahhirahmanirahim, aku ikhlas menerima suamiku yg berkata-kata kasar. Suamiku sebenarnya baik, hanya saja tidak punya figur ayah yang baik, jadi ia tidak tahu bagaimana menjadi suami yg sabar. Aku memaklumi dia"
- Mmemberi perhatian yang lebih, khususnya ketika suami sedang kesal, dengan memeluk atau memberi kejutan, dengn harapan muncul perasaan tidak tega menyakiti.

2. Konsekuensi mengakhiri rumah tangga
- Anak kehilangan figur ayah
- Harus mandiri melakukan segala hal sendiri, yaitu mengatur rumah tangga, mengurus anak & mendapatkan penghasilan

Saran:
- Melihat kembali dengan sungguh-sungguh tentang keinginan kedua belah pihak untuk mempertahankan rumah tangga.
- Meminta saran dari keluarga atau pihak ketiga terkait upaya untuk mempertahankan rumah tangga.
- Mengajak suami untuk mengedukasi diri tentang pentingnya komunikasi saling pengertian dalam rumah tangga, juga membicarakan tentang pengasuhan anak, mengingat relasi pernikahan pasti memiliki dampak pada tumbuh kembang anak.

Berikut beberapa penyebab KDRT
- Pengalaman masa lalu: Melihat KDRT atau menjadi korban KDRT, sehingga sekarang menjadi pelaku. Misalnya meniru sikap kasar orang tua pada pasangannya.
- Pola asuh: Disiplin yang mengandung kekerasan sehingga saat ini ketika menjadi orang tua juga diterapkan
- Menonton media (online maupun offline) yg menunjukkan kekerasan
- Stres yang berlarut-larut dan menumpuk
- Gangguan kepribadian dalam diri pelaku

Menyembuhkan trauma psikologis akibat KDRT memang tidak bisa langsung atau dalam waktu singkat.
- Tidak menyangkal perasaan negatif dalam diri. Akui saja kalau memang kita marah, sedih, takut pada pelaku.
- Perlahan-lahan membuat rencana apa yang harus dilakukan, bertahan & berusaha memperbaiki hubungan atau pergi dengan langkah mantap, melapor/minta bantuan pada siapa.

- Mendekatkan diri pada Tuhan sumber kedamaian & cinta kasih.

Demikian sharing dari mbak R, seorang ibu rumah tangga yang telah mengalami KDRT dari suaminya. Selain sharing dengan mbak R, ada beberapa pertanyaan yang datang dari peserta kelas. Berikut ini adalah rangkumannya :

Tanya M:
1. Apa yang menyebabkan KDRT terjadi?
2. Bagaimana pencegahan nya?
3. Apakah KDRT itu faktornya bisa dari inner child salah satu pasangan?

Jawab Ibu Mia:
1. Kalau bahasan penyebab sebenarnya di luar ranah hukum, namanya kriminologi. Mungkin scr psikologinya Mbak Rayna lebih kompeten menjawabnya.
2. Cara bangkit akibat KDRT kalau dari aspek hukumnya sudah benar ada grup ini, SPEAK UP to STOP KDRT. Menurut saya hal ini gerakan awal menuju pengaduan ke relawan pendamping atau aparat yang berwajib. Karena masalah KDRT ini delik aduan artinya, harus melapor/mengadu dulu baru diproses hukum. Kalau kita diam saja, ya tetap terjadi terus menerus KDRTnya.

3. Berperang dengan diri sendiri akibat KDRT sepertinya kurang tepat, Mbak. Namun berdamailah dg diri sendiri. Lawan ketakutan, miliki teman-teman yang mampu mendekatkan mbak dengan para relawan.
UU RI No.23 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Tanya N:
Apa efeknya bagi anak yang menyaksikan KDRT ortunya?
Jawab Ibu Mia:
Mbak N yang baik,
Efek bagi anak yang menyaksikan KDRT ortunya pastinya tidak baik Mbak. Dari segi hukumnya menyalahi hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang baik, contoh teladan, dan memperoleh lingkungan yang damai dan tentram di keluarganya.

Tanya T:
Lalu apa yang harus dilakukan jika anak terus menyaksikan ortunya bertengkar dan sampai terjadi kekerasan? Apakah dibawa ke psikolog bisa benar-benar sembuh hingga bahkan melupakan kejadian yang seharusnya tidak diingat?
Jawab Ibu Mia:

Menurut saya dg menghentikan akar masalahnya Mbak Nurul. Percuma dibawa ke ahli tp ortunya terus saja bertengkar.

Tanya De:
1.Bagaimana dengan stigma anak broken home akibat perceraian orang tua yg memiliki riwayat KDRT yang dianggap akan melakukan hal yang "sama" saat dewasa dan berumah tangga? Apakah hal seperti ini dapat dicegah?
2.Bagaimana mengatasi trauma bagi anak yang merupakan korban KDRT? Terlebih jika sampai dewasa, rasa trauma itu masih ada, sampai berada di titik tidak mau mengenal lelaki karena "takut" kejadian dengan ayahnya akan terulang kembali?
3. Bagaimana jika KDRT terjadi saat saya masih kecil dan sekarang orangtua sudah pisah, apa papaku (pelaku KDRT) tetap bisa terjerat hokum? Sedangkan bukti-bukti secara fisik sudah tidak ada, saksi juga sudah meninggal dunia (almarhum kakek).
Dampak nyata KDRT tersebut anak-anaknya trauma, saya punya bipolar disorder, kakak saya jd mengidap major depression disorder. Apakah tindakan di masa lalu bisa diadili secara hokum?

Jawab Ibu Mia:
Mbak De yang baik,
1. Putus mata rantainya Mbak, insyaallah akan meminimalisasi kemungkinan dia jd pelaku KDRT di saat dia dewasa kelak.
2. Bisa dengan memperluas pergaulan, banyak ketemu lelaki-lelaki yang baik (bisa diamati dari keluarga, akhlak keseharian, bertanya pada sahabatnya, saudara, dll). Ujung-ujungnya iringi dengan doa, jika segala ikhtiar sudah dilancarkan Mbak. Karena manusia punya keterbatasan, perlu bantuan  Yang Maha Kuasa.
3. Lampau waktu membuat aduan itu dalam hukum pidana kita tergantung lama ancaman hukumannya Mbak. Misalnya hukumannya 5 tahun (kekerasan fisik), maka  batas waktu melaporkannya 6 tahun. 

Alat bukti tidak perlu ribet Mbak. Cukup keterangan saksi korban sudah mencukupi. Masalahnya seringkali kita orang Indonesia ini tidak tega kan, papa sendiri, dll dll.
UU RI No.23 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Jawab Mba Rayna (Psi):
1. Stigma & anggapan masyarakat tidak dapat dicegah. Yg penting adalah anak memiliki bekal pengalaman berharga agar tidak mengulangi perbuatan ortunya.
2. Dengan terapi psikologis mbak, bisa minta bantuan professional.
3. Sudah terjawab oleh bu Mia ya mba.
Tanya De:
Terimakasih banyak, Ibu Mia penjelasannya. Meskipun atas dasar penjelasan ibu, papa saya berarti sudah tidak bisa lagi dilaporkan krn sudah terlewat masa daluarsanya, namun saya belajar untuk melakukan pencegahan untuk memutus rantai kekerasan tersebut
Saat ini kk saya masih blm bs menerima dan mengikhlaskan sikap papa di waktu kami kecil, namun semoga seiring waktu, keikhlasan itu akan datang di keluarga kami. Terimakasih
Jawab Ibu Mia:
Salam buat kakaknya ya Mbak De ilmu ikhlas memang perlu dipelajari, tidak datang sendiri.

Tanya A:
Apakah wajar efek dari KDRT itu mati rasa? Tidak nyaman bertemu dengan suami dan selalu ada rasa takut bertemu. Bagaimana menghilangkan rasa takut itu ?
Jawab Ibu Mia:
Mbak A,
Meski ini domainnya psikologi, kalau saya boleh berpendapat, amat sangat wajarlah jadi tidak nyaman bertemu dengan suami. Ada rasa takut dll.
Menghilangkan rasa takut, hilangkan dulu peluang KDRT nya kembali
Dalam hal ini suami Mbak wajib berkomitmen tidak akan mengulangi kembali kekerasan yg pernah dilakukannya. Kalau perlu buat perjanjian hitam di atas putih dg disaksikan RT/RW.
Semoga membantu ya Mbak, semangat.
Jawab Mba Rayna (Psi):
Rumah tangga yang ada kekerasan di dalamnya memang mengalami disfungsi, yang artinya gagal memenuhi kebutuhan2 dasar yaitu cinta, perhatian & rasa aman. Coba memberi perhatian lebih, dengan harapan suami tidak tega menyakiti.

Tanya Ti:
1. Apabila seorang salah satu dari istri/suami sering berkata kasar ketika emosi/berkelahi namun pasangannya sudah memahami sifat tersebut dan sudah terbiasa itu masih dikatakan KDRT?
2. Cemburu buta/ cemburu tidak wajar apakah termasuk dalam KDRT?
Jawab Ibu Mia:
Mbak Ti yang baik,
1. Sekarang begini Mbak, suami/istri yang menerima kata-kata kasar/luapan emosi tersebut,  merasa menderita atau sengsara secara psikis tidak? Kalau tidak berarti belum disebut KDRT.
2. Indikatornya perasaan orang yang bersangkutan, ketika cemburu buta itu menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan secara psikis, maka bs dikatakan KDRT.
Jawab Mba Rayna (Psi):
1. Tidak mbak, karena ada rasa maklum, pengertian, & toleransi
2. Iya, jika sikap cemburu itu membuat pasangan menderita secara fisik atau psikis.

Tanya N:
Jika seorang anak usia 8thn menyaksikan pertengkaran karena perselingkuhan orgtuanya, apakah akan berpengaruh terhadap psikisnya? Bagaimana cara mencegahnya?
Jawab Ibu Mia:
Mbak N yang baik,
Secara psikis sedikit banyak pasti ada pengaruhnya. Hak anak utk mendapatkan lingkungan yang tenang, yang nyaman bagi tumbuh kembangnya. Cara mencegahnya, jika orangtua mau meluapkan emosi karena suatu hal, sebisa mungkin tidak di depan anak. Anak dititipkan dulu ke neneknya/kerabat
Jawab Mba Rayna (Psi):
Ya mba. Ia melihat pola interaksi ortu yg kurang baik. Bisa dibantu dengan terapi psikologis agar ia bisa menerima keadaan ortu dan melanjutkan hidup dengan prinsip yg baik.

Tanya D:
Apakah KDRT terhadap perempuan itu bisa kita lawan? Maksudnya ketika pasangan KDRT dan saat itu juga kita melawan, kira-kira apa yg akan terjadi?
Jawab Ibu Mia:
Mbak D yang baik,
Sepanjang menurut perkiraan Mbak bisa melawan ya lawan saja. Apalagi kalau punya kemampuan karate, wah bagus sekali melawan kekerasan fisik. Namun kalau tidak, lebih baik menghindar, lari ke tempat yg dirasa bs melindungi. Tetangga, RT/RW dll. Pikirkan keselamatan diri sendiri dan anak.
Tanya I:
Apakah penelantaran rumah tangga termasuk dalamnya mengenai kekerasan finansial? Bisakah kita menuntut menggunakan pasal KDRT?
Jawab Ibu Mia:
Bisa sekali Mbak. Kan sudah tertera dengan jelas di UU KDRT Pasal 5 huruf e, penelantaran rumah tangga. Karena sifatnya delik aduan, polisi/relawan pendamping tidak datang ke rumah tapi korban yang membuat laporan ke kantorr polisi atau P2TP2A. Jika kita tidak melapor, ya tidak ada tindakan hukum apa-apa.
Jawab Mba Rayna (Psi):
Sudah terjawab ya mba. Juga pertanyaan dari bu I. Penjelasan bu Mia keren

Tanya S:
Trus jika di larang untuk bekerja, lalu kita tidak diberi uang belanja (nafkah), dan cemburu yang berlebihan apa itu juga disebut KDRT psikis? Bagaimana kita menyikapi itu semua ?
Jawab Ibu Mia:
Mbak S,
Jika Mbak merasakan penderitaan dan kesengsaraan psikis karena tidak dinafkahi (ditelantarkan) dan dicemburui berlebihan pula, bisa dikatakan itu sudah masuk KDRT.
Menyikapinya?

Speak up ke relawan pendamping nanti akan diarahkan, yang Mbak alami ini layak diteruskan ke yang berwajib atau tidak.

Tanya Me:
Sebenarnya perilaku ini bisa terjadi karena sudah menjadi "tradisi' di keluarga dan dianggap sepele bagi pelaku. Nah kalau sudah begini harus bagaimana?
Lalu bagaimana dampak bagi anak-anak? Apalagi yang masih balita merasakan dan melihat ini, apakah ini akan terekam di memori mereka?
Apa dampak real dan potensial ketika dewasa nanti? LGBT, PTSD atau depresi?

Jawab Mba Rayna (Psi):
Benar mba, ada keluarga yang sudah terbiasa berkata & berperilaku kasar. Namun kita percaya, dalam keluarga ada dinamika. Misalnya penyesuaian pasangan yang baru menikah, kelahiran anak pertama, hingga menikahkan anak sehingga ada persatuan 2 budaya keluarga. Jika ada anggota keluarga yang tidak nyaman dengan perilaku anggota lain, sebaiknya didiskusikan. Apabila belum ada titik temu, bisa dimediasi.
Ya mba, terekam dalam alam bawah sadar, sehingga menjadi dorongan bagi mereka untuk berperilaku ketika dewasa.
Mohon diagnosis LGBT, PTSD, & depresi tidak dilakukan kepada diri sendiri, tetapi diagnosis tersebut ditegakkan sebagai hasil pemeriksaan dengan profesional. Tips2 yg ada di internet hanya sebagai informasi, bukan untuk self diagnosis.

Jawab Ibu Mia:
Lembaga hukum untuk meminta bantuan:
1. P2TP2A, sudah saya share di atas ya kepanjangannya.
2. Lembaga Bantuan Hukum (LBH), baik LBH perempuan seperti LBH Apik, maupun LBH pada umumnya. Coba sesekali bersilaturahim ke LBh terdekat dari rumah di kota Mbaknya. Kenalan, minta nomor kontak anggotanya.
3. Polsek terdekat. Nanti diarahkan ke Ruang PPA

Oya, baik relawan, LBH maupun polsek, semuanya gratis ya alias tidak perlu mengeluarkan uang. Sudah syukur orang mau speak up, malah dimintai uang pula.

Di Indonesia sendiri ada komunitas yang memberikan dukungan bagi korban KDRT untuk dapat berani speak up, salah satunya adalah Break Up The Silence Indonesia

Apa yang saya sampaikan hari ini semoga dapat menjadi bahan renungan kita. KDRT bisa terjadi tidak hanya kepada wanita, kaum pria pun bisa menjadi korbannya. Dan salah satu yang paling penting adalah bagaimana kita bisa peka dan sadar bahwa keselamatan fisik dan kesehatan mental kita adalah yang paling utama. Begitu pula dengan anak-anak kita. Kitalah yang memiliki tanggung jawab untuk memutus mata rantai KDRT. Ayo speak up meawan KDRT, STOP kekerasan dalam rumah tangga. Karena kita berharga!


Salam Hangat,
sapamama

6 Komentar

  1. Nice share, terima kasih telah mendokumentasikannya dengan baik. Salam kenal ya sapamama.com.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah berkenan mampir di blog saya ibu Mia. Semoga bermanfaat bagi siapapun yang membutukan informasi terkait Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

      Hapus
  2. Sayangnya, kalau dirujuk ke pidana, pembuktian pada KDRT amat sulit ya mbak... apalagi KDRT psikis. Menurut pandangan mbak gtu juga nggak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mba, korban sangat memerlukan dukungan. Apalagi masalah rumah tangga seeing kali dianggap aib yg harus ditutupi. Ada huga stigma bahwa istri wajib melindungi aib suami ken aib suami adalah aibnya sendiri sehingga mengorbalan kesehatan mental dan fisiknya. Kalau menurut saya, kurang lebih sama dg yg disampaikan para pakar di atas, ketika kita melihat ada orang di sekitar kita menjadi korban, maka kita harus mendekati, mendukung, membangun kepercayaan dirinya, bahwa dia adalah manusia yg berharga, kalau bisa ajak ke profesional. Di beberapa kota ada PUSPAGA, Pusat Pembelajaran Keluarga yg menyediakan layanan konsultasi gratis bagi yg membutuhkan bantuan.
      Sebagai orangtua, semoga kita dapat mendidik generasi masa depan untuk menjadi pribadi yg matang, mandiri, komunikatif, penuh cinta kasih sehingga tercipta dunia yang lebih baik ^^

      Hapus
  3. kalau KDRT Psikis rasanya agak sulit diadukan ya mba.. paling kita butuh teman curhat atau komunitas. Juga nasihat orang yang pakar di bidangnya.
    dalam rumah tangga, kekerasan psikis ringan pun lumayan mengganggu. Seperti suami membatasi istri untuk berkarya, melarang bekerja tapi sering tidak ikhlas saat menafkahi. Hal-hal seperti itu kadang bahkan tidak begitu mendapat perhatian dari agama sekalipun.
    Hanya bersuara mbak... nice share.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mba, hal seperti itu masih sering kita jumpai dlm kehidupan kita.

      Terima kasih sudah berkenan mampir mba iim. Sukses selalu...

      Hapus