Literacy Talks: Diskusi Seputar Melindungi Privasi Anak Di Media Sosial
Setelah kemarin kita membahas tentang Literacy Talks dan Sharenting di sini, kini saatnya berdiskusi. Untuk tambahan informasi, narasumber Literacy Talks Vol.1 adalah Alanda Kariza, seorang ibu, penulis dan Manajer Komunitas untuk Quora dalam Bahasa Indonesia, telah menerbitkan 11 buku dalam Bahsa Indonesia dan Bahasa Inggris. Keren sekali ya.
Baiklah, berikut ini beberapa diskusi yang telah dilakukan, beberapa pertanyaan sudah saya sunting agar lebih sederhana. Untuk jawaban dari narasumber tetap tanpa di sunting dan apa adanya agar pesan dapat tersampaikan secara maksimal. Beberapa pertanyaan juga dilengkapi tanggapan.
Keterangan:
Q : Pertanyaan
A: Jawaban
K: Tanggapan/Komentar
Q: Bagaimana cara memberitahu teman dekat untuk tidak asal unggah foto anaknya? (beberapa kali foto anaknya hanya menggunakan popok di unggah di IG)
A: Sebenarnya memberitahu orang lain yang sudah menjadi orang tua memang sulit, karena setiap orang tua punya pilihan dan preferensi “parenting” masing-masing dan seharusnya kita memang tidak menggurui. Mungkin bisa dimulai dengan membagi artikel soal risiko sharenting (misal: soal lingkaran kaum pedofil). Saya juga pernah mengalami situasi di mana teman saya mengunggah video anaknya yang sedang berenang tanpa pakaian sama sekali (karena di bak kecil baby spa). Waktu itu saya akhirnya, “Wah, (nama bayi) seksi banget ya berenangnya nggak pakai baju.” Akhirnya video itu dihapus oleh yang bersangkutan. Yang penting kita udah mengingatkan, keputusan terakhir ada di
tangan orang tua.
Q: Adakah institusi atau komunitas yang memberikan bantuan hukum khusus mengenai sharenting jika ada orang yang menyalahgunakan posting-an kita? Dan bagaimanakah cara efektif untuk menyebarluaskan keinginan kita untuk berbagi kegembiraan dalam media sosial?
A: Untuk institusi saya kurang tahu, tetapi seharusnya LBH atau adkovat/ pengacara biasa bisa, ya.
Saya pernah melihat orang yang berbagi kisah soal tumbuh kembang anaknya menggunakan ilustrasi :) Jadi, dia tetap mengunggah cerita soal perkembangan anak, tapi yang diunggah adalah ilustrasi/ gambar (bukan foto anak). Opsi lain adalah mengunggah obyek yang berhubungan dengan tumbuh kembang (misal mainan, alat makan, dsb) atau ada juga yang mengunggah misalnya kaki anak saja atau tangan anak saja, atau foto anak dari kejauhan sehingga wajahnya tidak terlihat jelas, atau foto anak dari belakang.
T: Berbagi cerita melalui ilustasi bisa jadi alternatif, tapi saya punya pengalaman tak menyenangkan soal itu. Meskipun bukan kami yang mengalaminya langsung, tapi cukup mewakili. Teman kami yang juga ilustrator selalu berbagi cerita lewat komik-komik singkat (komik strip) di media sosial (saat itu masih ramai Facebook. Ilustrasi karakter anak-anaknya pun dibuat, sehingga begitu melekat dan cukup mewakili mereka di kehidupan nyata. Tapi enggak pernah disangka kalau karakter anak-anak itu digambar ulang oleh yang lain dan dibuat dengan cerita yang tak layak dan senonoh (pornografi) hingga menimbulkan keresahan saat itu. Dampaknya tentu membuat kaget keluarga mereka dan semua orang jadi marah. Meski akhirnya dapat selesai dengan damai, tapi pengalaman pahit akan sulit dilupakan.
Pengalaman tak langsung itu seketika menampar kami bahwa orang jahat bisa berbuat apa saja, terlepas dari bentuk medianya, hubungan antara pelaku dan korban, atau berbagai alasan lainnya. Ilustrasi sekalipun bisa dijadikan alat kejahatan, meski tak ada wajah asli dari anak-anak itu. Belajar dari sana, kami mencegah agar kejadian itu tak menimpa keluarga kami. Sebisa mungkin keluarga diberi pengertian. Walaupun beberapa kali ada saja hasrat ingin pamer kepada khalayak dan eksis di media sosial dengan dalih berbagi kebahagiaan.
T: Oh ya, sekaligus mau menambahkan, foto anak di media sosial bukan hanya soal privacy anak kita, namun juga empati ke orang lain. Di usia 3-4bulan bayiku mulai ekspresif, at the same time beberapa temanku sedang TTC atau promil, bahkan ada yang sedang keguguran. Jadi pernah reply dengan kalimat agak menyedihkan, tersirat rasa iri. aku jadi merasa bersalah dan akhirnya mengurangi intensitas share foto itu.
Q: Mengenai hal ini, sebaiknya sejak kapan anak mulai diperkenalkan dengan consent dan dengan cara-cara seperti apa?
A: Kalau konteks consent-nya soal foto, mungkin anak-anak udah lebih cepat mengerti. Anak saya sendiri masih bayi jadi saya belum berpengalaman di bidang ini, tapi saya rasa mungkin bisa di usia 3 tahun ketika ia sudah mengerti konsep “foto”. Kita bisa tanya terlebih dahulu, “mau difoto, nggak? Kalau foto ini Ibu kasih lihat ke teman-teman Ibu nggak apa-apa nggak?” Mungkin, ya. Saran saya bisa ditanyakan ke psikolog anak yang tentunya lebih mengerti. Saya hanya berbagi di acara Literacy Talks ini dan tidak punya pendidikan resmi untuk menjawab hal yang belum saya alami pribadi.
Q: Saya kan mau bikin blog tentang murid-murid saya, semacam yearbook tapi platform blog. Nah, apakah itu juga bahaya?
A: Saya rasa blognya bisa dibuat privat (diproteksi dengan password) dan URL-nya hanya diberi ke wali murid. Selain itu, sebelum publikasikan foto anak, tanyakan dulu ke wali muridnya apakah mereka memberi consent/ izin atau tidak. Informasikan juga siapa saja yang bisa mengakses konten tersebut. Di luar negeri banyak contoh consent form yang bisa diadaptasi. Contoh ada di sini.
T: Kalau mengadopsi konsep riset dengan partisipan/ responden anak, selama anaknya sudah bisa bicara atau mengekspresikan mau atau tidak mau, consent didapat dengan menanyakan langsung kepada si anak, seperti yang Alanda bilang. Kalau anaknya belum bisa bicara, memang yang dibutuhkan adalah parental consent. Orang tuanya berhak menentukan. Balik lagi, walaupun berhak, sudahkah orang tua mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi jangka pendek maupun panjangnya?
Untuk consent form, seperti yang dicontohkan Alanda, bentuknya harus tertulis, tidak boleh lisan. Sebaiknya anaknya pun dimintai consent apakah dia mau fotonya ditampilkan di blog.
Q: Bagaimana caranya agar tetap konsisten untuk menjaga privasi dengan mengedit foto sebelum mengunggah di instagram, ya? Karena kadang kita suka lupa, reflek pasang di Instagram Story.
A: Cuma diri sendiri yang bisa mengingatkan, sih, karena itu kan pilihan kita. Mungkin coba latih diri kita untuk tidak terlalu impulsif. Misalnya, biasakan foto/ video menggunakan aplikasi Camera biasa, bukan kamera in-app-nya Instagram. Jadi, ada proses lain dan lebih panjang yang harus dilewati sebelum foto bisa kita unggah. Di rentang waktu itu mungkin kita bisa keinget. Kalau sudah terlanjur upload, dihapus saja (kalau memang tidak mau ada konten tersebut di Instagram Story).
Q: Langkah apa yang bisa dilalukan jika foto anak kita disalahgunakan oleh pihak lain?
A: Ini ada artikel yang bagus dan mungkin bisa diaplikasikan.
Q: Bagaiman dengan unggahan berupa ulasan atau promosi produk tertentu dengan foto yang menampilkan anak mereka (baik diendorse maupun tidak), apakah juga berbahaya?
A: Menurut saya, bahaya/ risikonya sama dengan posting-an biasa (tanpa produk). Namun, ada beberapa risiko tambahan seperti foto itu bisa didistribusikan ke lebih banyak orang karena seringkali akun bisnis/ produknya repost foto itu (dan biasanya followers akun bisnis /produk itu kan bisa dari mana saja). Khusus untuk endorse, efek psikologisnya bisa jadi si anak merasa dieksploitasi oleh orang tuanya demi mendapatkan uang/ barang gratisan. Beberapa teman saya yang orang tuanya selebritis atau ketika kecil dipaksa orang tua menjadi penyanyi cilik atau model cilik misalnya, masih merasa trauma dan tidak akrab dengan orangtua mereka karena merasa dieksploitasi. Menurut saya, memaksa anak untuk berpose sebagai model komersil di jaman dulu tidak terlalu berbeda dengan memaksa anak untuk berpose mengiklankan barang di Instagram orang tuanya. Kalau cuma menampilkan orang tua sih lain cerita, ya…
Saya sendiri beberapa kali di-endorse. Saya jarang mengajak suami ke dalam foto endorsement (apalagi anak) karena saya merasa ini pekerjaan saya—bukan mereka. They did not sign up for it. Saya juga beberapa kali menolak tawaran endorsement yang mengharuskan saya berfoto dengan anak saya (meski bayaran yang ditawarkan lebih mahal dibanding foto biasa). Sebenarnya, ya, bisa saja saya terima dan uangnya ditabungkan untuk anak, tapi saya merasa lebih penting untuk mengedepankan hak anak ketimbang uang (yang bisa saja dicari di tempat lain meski nggak se-“mudah” menerima endorsement).
Q: Kalau email itu termasuk media sosial nggak, ya? Karena saya dan suami memutuskan untuk membuatkan anak kami email. Tujuannya seperti buku harian, menuliskan aktivitas harian disertai foto dan video dengan harapan ketika anak bisa besar dia bisa membaca kisah masa kecilnya. Apakah risiko yang mengikuti sama dengan risiko pengunggahan foto/ video anak di Instagram atau Facebook?
A: Kalau email, kemungkinan besar lebih aman karena hanya orang tertentu yang dapat mengaksesnya. Saya mengerti mungkin ini maksudnya seperti online diary versi privat, ya :)
Oleh sebab itu, saya rasa risikonya jauh lebih rendah dibanding mengunggah foto/ video anak di Instagram & Facebook. Soal Gmail/Google, saya kurang tahu, tapi saya menemukan artikel ini.
Mungkin ini mirip seperti menyimpan foto di ponsel Android, ya (yang terhubung dengan akun Google). Secara eksplisit, kelihatannya "tidak ada risiko", tetapi bagaimana kantor Google bekerja kita tidak pernah tahu. Pastikan saja password email tidak di-save di komputer yang bisa diakses publik (misalnya warnet/ internet cafe, komputer kantor, dsb).
Q: Kalau yang sudah terlanjur share foto-foto anak di media sosial apa yang harus dilakukan?
A:
(1) Kalau mau dihapus tapi “sayang”, bisa diarsip aja.
(2) Kalau memang akun privat dan orang yang follow dapat dipercaya, mungkin risiko bahayanya lebih rendah.
3) Ke depannya lebih memperhatikan foto-foto yang mau diunggah seperti apa.
Q: Apakah ada manfaat dari sharenting? Mengingat sekarang banyak sekali momfluencer di Instagram bahkan ada yang endorse produk bersama anaknya juga. Lalu gimana kita memproteksi posting-an foto anak kita yg sudah terlanjur tersebar?
A: Mungkin bisa berbagi informasi dan/atau ilmu pengetahuan mengenai parenting, tetapi saya rasa hal ini bisa dilakukan tanpa harus membagi foto anak. Sejujurnya, tawaran untuk bekerjasama dengan brand tertentu dan mengiklankan/ me-review produk mereka berdatangan dengan jumlah jauh lebih banyak ketika sudah punya anak ketimbang waktu belum punya anak/ single. Namun, mereka mensyaratkan bahwa fotonya harus dengan anak dan/ atau suami. Biasanya, saya menolak tawaran yang meminta saya berpose dengan anak. Mungkin langkah pertama bisa hapus dulu foto/video yang dipublikasikan (setelah dibackup) jika ingin dihapus.
Q: Saya beberapa kali memposting Instagram Story suara anak yang bernyanyi dan berdoa, apakah suara anak pun sebaiknya tidak usah di-post? Atau belum ada kasus penyalahgunaan suara yang terpublikasi?
A: Untuk suara, saya kurang tahu tapi saya juga pernah mengunggah suara anak yang sedang ngoceh (walau tidak jelas ngomong apa). Mungkin bisa coba cari tahu ke pihak yang lebih ahli :) Saya hanya berbagi pengalaman saja.
Q: Bagaimana cara memberikan pengertian kepada orang lain tentang menjaga privasi anak kita ketika berada dalam suatu forum?
A: Kalau ada yang mau foto/ mengeluarkan kamera, saya segera menyatakan bahwa saya tidak mempublikasikan foto anak kami di media sosial dan berharap mereka pun akan menghormati keputusan itu dengan melakukan hal yang sama. Kalau keluarga/ teman dekat sih saya perbolehkan memfoto anak saya selama tidak didistribusikan. Sering sekali datang ke tempat di mana orangorang
suka foto-foto... misalnya studio olahraga (ketika melakukan baby yoga atau postnatal yoga dsb) atau kelas bayi. Biasanya saya segera menyampaikan ke penyelenggara acara terkait keputusan kami, mayoritas langsung mengerti. Pernah juga ada yang unggah foto anak saya, saya langsung sampaikan keberatan saya dan foto itu dihapus.
Tentu ada rasa nggak enak, apalagi ke keluarga yang lebih senior karena mereka belum tentu mengerti sedalam kita soal media sosial. Keluarga saya saja tidak sedikit yang tersinggung. Tapi, ya kembali lagi, ini keputusan kami dan kami anggap terbaik untuk anak kami. Sama seperti keputusan lainnya: lahiran normal atau caesar? Menyusui langsung atau lewat botol? ASI atau susu formula? dll, pasti ada saja pihak yang setuju maupun tidak setuju. tapi kita harus jalan terus.
Q: Kira-kira “teknisnya” kasih pengertian ke keluarga dan teman saat mereka jenguk anak kita yang baru lahir itu gimana, ya? Kan biasanya mereka suka langsung fotoin anak kita tuh.
A: Sulit sih memang :) Saya sudah sounding dari sebelum melahirkan, terutama ke kedua orang tua saya. Awalnya sambil bercanda sih, semacam kayak.. "Ya, kayak Chris Hemsworth di Instagram-nya gitu lah, Bu.." (kebetulan Ibu saya nonton Avengers karena masih punya 2 anak remaja hahaha).. Mungkin sekarang bisa bilang kayak Raisa dan Hamish :))
Di hari H-nya memang tetap sulit. Ada anggota keluarga saya yang jadi tidak excited menyambut kelahiran anak saya karena tau tidak diperbolehkan mengunggah fotonya di media sosial. Anak saya jadinya tidak dijenguk -- padahal ada kerabat yang juga baru punya bayi dan jauh lebih banyak perhatian karena bayinya boleh difoto dan fotonya diunggah ke media sosial. Kami beberapa kali tidak diajak pergi ke acara keluarga karena keputusan ini. Jadi, memang berat sekali dan saya pribadi sering merasa dikecualikan dari komunitas tertentu karena keputusan ini :(
Kalau ada yang foto, biasanya saya memperbolehkan, tetapi saya mengingatkan agar foto itu jadi konsumsi pribadi saja (tidak diunggah ke media sosial). Kalau teman-teman biasanya paham sih. Kalau keluarga yang senior yang kadang butuh penjelasan lebih lanjut. Akirnya saya coba jelaskan, atau saya juga pernah coba bagi tautan dari internet soal hal ini agar mereka baca.
Q: Apa tips untuk menguatkan diri sendiri agar konsisten dengan keputusan tidak melakukan sharenting?
A: Namanya juga orang tua, pasti merasa anaknya paling ganteng/ cantik sedunia :)) Kami selalu mengingat bahwa kami melakukan ini bagi kebaikan anak. Sama seperti hal-hal lain dalam mengurus anak. Bagaimana caranya agar konsisten memberi makan pada jam tertentu? Bagaimana caranya agar bisa bangun di tengah malam ketika dia minta ASI? Semuanya kan demi kebaikan anak. Kalau kita ingat itu, niscaya kita akan bisa menjalaninya dengan lebih 'legowo'.
Q: Banyak dari kita memanfaatkan Cloud Storage untuk menyimpan berbagai macam data (termasuk data pribadi: scan KTP, NPWP, kartu keluarga, dll) agar mempermudah akses. Apakah menyimpan data anak di Cloud juga tergolong sharenting dan beresiko tinggi untuk masa depan?
A: Saya termasuk yang masih melakukan hal ini. Menurut saya, jika Cloud hanya bisa diakses oleh diri kita dan/ atau pasangan, tidak termasuk sharenting. Namun, terkait risiko, tentu pasti ada saja, apalagi kita tidak tahu bagaimana data kita akan digunakan oleh penyedia layanan Cloud ini. Saya setuju bahwa kita harus lebih berhati-hati tetapi sejujurnya saat ini saya tidak merasa punya pilihan lain (terutama karena sering ambil foto di ponsel, dan storage-nya di Cloud, misalnya iCloud atau Google :(
Q: Di era digital sekarang, digital exsistence does mean so much to some people. Kalau nanti anak udah cukup mengerti soal digital exsistence dan sadar kalo anak belum memiliki digital exsistence sama sekali dan ternyata hal ini membuat mereka merasa berbeda dari teman-teman sebayanya, bagaimana seharusnya kita memberi pengertian?
A: Saya belum terbayang sih. Kebetulan anak saya juga baru usia 6 bulan. Belum bisa ngomong :) Mungkin teman-teman di sini ada yang punya pengalaman dan bisa berbagi? Saya rasa hal ini seharusnya tidak jadi masalah. Dulu, jaman kita masih sekolah, ada teman yang punya HP duluan, ada yang belakangan. Ada yang ke sekolah naik mobil, ada juga yang naik antar-jemput atau bahkan jalan kaki. Sepertinya kita bisa melakukan cara-cara yang sama dengan cara untuk membicarakan topik lainnya yang serupa. Saat ini saya sedang baca buku ini, mudah-mudahan nanti ketemu jawabannya.
Q: Mau dong dibagi artikel/ bacaan/ jurnal/media visual yg jadiin referensi terkait keputusan Alanda dan suami buat enggak melakukan sharenting!
A: Banyak... Beberapa yang ditemukan ada dari Glamour, Washington Post, Mac Leans, Scary Mommy, dan Yahoo.
Q: Saya kebetulan banyak berkegiatan dengan anak-anak usia 5 tahun keatas. Karena saya punya rumah belajar/ perpustakaan publik. Karena sudah dekat mereka sangat terbuka dan mau di foto siapa saja. Bagaimana cara memberi pengertian tentang privacy pada abak-anak usia ini?
A: Aku belum ada pengalaman sih tapi coba baca ini deh. Katanya sih bisa hampir sama dengan
mengajarkan soal consent (siapa yang boleh pegang/ sentuh tubuh kita/ pegang tangan/peluk/ dsb).
=====================================================================
Wow, luar biasa sekali ya diskusinya. Semoga hasil diskusi ini dapat menjadi pencerahan bagi kita sebagai orangtua agar lebih berhati-hati dalam membagikan informasi seputar anak-anak kita ya.
Tentang keputusan untuk ingin mengunggah informasi di media sosial tentunya semua kembali pada diri kita masing-masing. Semoga keluarga kita senantiasa dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Aamiin...
Salam hangat,
sapamama
0 Komentar